Perubahan UUD 1945 dan Urgensi Pengundangannya

Oleh MIFTAKHUL HUDA*

Mas Subagio dalam bukunya “Lembaran Negara Republik Indonesia Sebagai Tempat Pengundangan Dalam Kenyataan”(1983) mengartikan “pengundangan” sebagai penempatan suatu peraturan perundangan negara yang tertentu di dalam suatu lembaran resmi sebagaimana diatur dalam suatu peraturan perundangan dan mengedarkannya kepada umum untuk diketahui.

Pengertian diatas berbeda sekali dengan arti yuridis UU No.10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang menyatakan: “Pengundangan adalah penempatan Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, atau Berita Daerah” (Pasal 1 angka 11)

Dalam arti yuridis, pengundangan tidak termasuk tindakan pengumuman resmi berlakunya peraturan atau penyebarluasan di masyarakat. Pengundangan sendiri merupakan syarat mutlaq berlaku mengikatnya sebuah aturan, sehingga berlakulah fictie dalam hukum setiap orang dianggap mengetahui. Apakah pengundangan termasuk jenis UUD agar memiliki kekuatan mengikat?


Sejarah Pengundangan UUD
Pengundangan (pengumuman) sejak kemerdekaan mendapatkan prioritas pengaturannya. Akan tetapi, prakteknya jenis peraturan yang diundangkan sering kali terjadi penyimpangan, termasuk munculnya peraturan “liar” inkonstitusional. Begitu juga cara dan tempat pengundangan peraturan berubah-ubah sesuai kondisinya saat itu, tercatat dilakukan di Papan Pengumuman gedung Komite Nasional Pusat (KNIP) dan Kementerian Kehakiman di Solo, BRI Tahun 1945-1947, Berita Negara Republik Indonesia (1947), Radio dan Harian (1949) dan dalam Lembaran Negara (LN) dengan UU Darurat No.2 Tahun 1950 dan diberlakukan kembali dengan UU No.2 Tahun 1950 yang dikenal sampai saat ini LN sebagai tempat resmi.

Undang-Undang Dasar (UUD) yang pernah berlaku diundangkan dalam tempat resmi, yaitu:

Pertama, UUD 1945 periode pertama (18 Agustus 1945 s/d 27 Desember 1949) bersama dengan penjelasan resmi dimuat dalam Berita Republik Indonesia (BRI) Tahun II (Tahun 1946) No.7.
Kedua, UUD RIS 1949 dengan Keppres No.48 Tahun 1950 Tentang Mengumumkan Piagam Penandatanganan Konstitusi Republik Indonesia Serikat dan Konstitusi Republik Indoneia Serikat dimuat dalam LN Tahun 1950 No.3.
Ketiga, UUDS 1950 dengan UU Federal No.7 Tahun 1950 dimuat dalam LN RIS Tahun 1950 No.56 dan Penjelasan Tambahan LN RIS No.37.
Keempat, UUD 1945 periode kedua (5 Juli 1959 s/d amandemen) dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 berdasarkan Keppres No.150 Tahun 1959 dimuat dalam LN Tahun 1959 No.75 meliputi Pembukaan, Batang Tubuh dan Penjelasannya bersama-sama dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959

Secara yuridis, pengundangan UUD dalam tempat resmi tidak diatur. Ketentuan yang ada hanya mewajibkan jenis peraturan yaitu: Undang-Undang (UU) atau UU Federal (RIS), UU Darurat atau Perpu dan Peraturan Pemerintah (PP) atau Peraturan Presiden. BRI yang memuat naskah UUD 1945 periode pertama sebenarnya hanya koran pemerintah biasa. Sedangkan UUD RIS 1949, UUD S 1950 dan UUD 1945 periode kedua diundangkan terlebih karena sebab “baju hukum” materi UUD menggunakan UU Federal dan Keppres yang harus diundangkan. UUD RIS 1949 dan UUD S 1950 sendiri dalam “bagian penutup” memerintahkan pengundangannya.


Urgensi Pengundangan

Dengan belum diundangkan hasil amandemen dalam tempat resmi, hal demikian tentu nanti bermasalah, karena Jawa Pos (26/0107) memberitakan pemerintah hanya melakukan penomoran masing-masing No.11-14 Tahun 2006 dalam LN tanggal 13 Pebruari 2006. Problem lain pasca amandemen, Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) juga menerbitkan naskah konsolidasi yang bersifat resmi (tidak resmi?) dan banyak bermunculan penerbitan dengan tujuan memudahkan memahami UUD dalam satu naskah. Padahal, perbedaan titik koma, huruf besar atau kecil dalam hukum, menimbulkan pengertian berbeda dan kontroversi ketatanegaraan selama ini karena perbedaan penafsiran norma konstitusi.


Apakah hasil amandemen tanpa pengundangan sah dan memiliki kekuatan mengikat? Tentu jawaban sah tidaknya peraturan harus dibedakan dengan kekuatan berlaku mengikatnya. Amandemen UUD 1945 jelas sah sebagai hukum dasar tertulis sejak ditetapkan, sesuai doktrin dalam ilmu hukum suatu norma hukum mulai berlaku sejak ditetapkan, kecuali jika ditentukan lain oleh norma hukum itu sendiri. Sahnya amandemen UUD ditentukan prosedurnya apakah sesuai Pasal 37 UUD 1945.

Hukum positif yang mengatur pengundangan yakni UU No.2 Tahun 1950 tidak mewajibkan pengundangan UUD. Begitu juga setelah diberlakukan UU No.10 Tahun 2004 yang diundangkan tanggal 22 Juni 2004 hanya menentukan pengundangan dalam LN sebagai berikut: 1) UU/ Perpu; 2) PP mengenai Pengesahan perjanjian antara negara RI dan negara lain atau badan Internasional dan pernyataan keadaan bahaya; 3) dan peraturan perundang-undangan lain yang menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku harus diundangkan dalam LNRI.

Apakah UU dibenarkan mengatur syarat berlakunya sebuah UUD? Pertanyaan rumit ini mungkin sebab ketidakberanian UU No.10 Tahun 2004 mengatur kewajiban pengundangan sebuah UUD. Penempatan UUD dalam tempat resmi disisi lain dianggap kebutuhan kepastian hukum sehingga Pasal 3 (2) UU No.10 Tahun 2004 meminta UUD 1945 ditempatkan dalam LN. Ketentuan ini mengakomodasi agar peraturan diketahui masyarakat luas, akan tetapi pasal lain tegas menyebut UUD 1945 tidak diundangkan sebagaimana peraturan perundang-undangan lain.

UUD memiliki kedudukan penting dan wajib diketahui oleh masyarakat seluas-luasnya. Pengundangan tidak hanya untuk tertib hukum, tidak kalah pentingnya menghindari perdebatan tidak perlu jika ditegaskan teks resmi sebagai jaminan kesatuan sistem rujukan dengan satu naskah baku (the sole reference). Publikasi, penyebaran informasi dan sosialisasi luas yang dilakukan MPR selama ini tidak ada artinya jika soal pengundangan belum dilakukan sebagai sarana setiap orang mengetahuinya.


Jalan Keluar

Jalan keluar dari pasal UU yang saling menegasikan mestinya dikembalikan pada asas perundang-undangan bahwa undang-undang dapat dicabut instansi yang membentuknya atau instansi yang lebih tinggi. Sehingga, solusi yang tepat yaitu materi UUD seharusnya memerintahkan pengundangan dalam tempat resmi (LN) seperti UUD yang pernah berlaku melakukannya. Hal ini bisa dilakukan jika amandemen kelima jadi diselenggarakan dan sepakati di MPR.

Naskah asli UUD 1945 berserta hasil amandemen yang resmi dan sah sebagai kesepakatan politik tertinggi yang telah dilakukan (1999-2002) sudah saatnya di ketahui seluruh masyarakat Indonesia. Pengundangan adalah soal teknis hukum yang berakibat fatal jika tidak dilaksanakan. Pengundangan dalam LN tidak meruntuhkan wibawa UUD 1945 sebagai hukum tertinggi. Tanpa pengundangan, MPR telah meninggalkan segi teknis yang selama ini banyak diabaikan dan menimbulkan kontroversi panjang. Lantas menunggu apa lagi? Wallahu A’lam

* Praktisi Hukum di Surabaya

(Pernah dimuat di kolom Opini, Berita Mahkamah Konstitusi, No.21, Oktober-November 2007, hal. 8-9)

Selengkapnya.....

MK dan Kecemasan Intervensi Parpol

Refly Harun

Terpilihnya Prof. Mahfud MD sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), 19 Agustus lalu, membawa harapan sekaligus kecemasan. Kecemasan, karena Mahfud notabene adalah orang parpol. Publik tahu, sebelum terpilih sebagai hakim konstitusi dan kemudian Ketua MK, Mahfud adalah anggota DPR dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Meski kepakarannya dalam bidang hukum tatanegara tidak perlu diragukan lagi, "bau-bau" parpol tersebut tentu tidak mudah untuk dihilangkan.

Sejak awal, ketika pemilihan hakim konstitusi pertama pada 2003, saya telah menentang masuknya orang-orang parpol ke MK. Negarawan, salah satu syarat untuk menjadi hakim konstitusi, harus mereka yang beyond dari political interest. Orang politik tidak mungkin demikian karena kepentingan politik adalah menu sehari-hari. Merenggut kepentingan politik seorang politisi ibarat mengamputasi kaki seorang sprinter atau menghilangkan pita sura seorang penyanyi.
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) karya para politisi di Senayan secara cerdas membedakan syarat hakim konstitusi dan syarat untuk dapat diangkat menjadi hakim konstitusi. Ketika ingin menjadi hakim konstitusi, seorang politisi bisa saja bertarung di medan pemilihan Presiden, DPR, atau bahkan MA, asal setelah terpilih dan akan dilantik menjadi hakim konstitusi, yang bersangkutan mengundurkann diri dari parpol. Mahfud dan Akil Mukhtar telah memanfaatkan celah ini untuk maju pada medan pertarungan DPR. Mereka menang.

Terlepas pada reputasi Mahfud, saya menilai praktik seperti ini tidak seharusnya dipertahankan. Harus ada jedah yang signifikan bagi seorang politisi bila ingin menjadi negarawan. Hari-hari terakhir ini kita melihat betapa posisi-posisi publik memberikan karpet merah kepada para politisi. Politisi diperbolehkan merambah ke mana-mana, termasuk ke lembaga yang seharusnya steril dari politisi seperti hakim konstitusi.

Sharing Power
MK pada periode kepemimpinan Jimly Asshiddiqie harus diakui banyak mencetak prestasi dan mengundang apresiasi, tetapi bukan berarti tanpa kekurangan. Hadirnya Mahfud dalam tampuk kepemimpinan MK diharapkan mempertahankan prestasi yang telah diraih dan menambal kekurangan yang ada. Independensi sembilan hakim konstitusi dalam memutuskan perkara dan belum terciumnya bau mafia peradilan adalah dua prestasi yang patut dipertahankan.
Independensi hakim dalam memutuskan perkara dan bebasnya sebuah institusi peradilan dari judicial corruption adalah ruh. Tanpa itu, lembaga pengadilan bukanlah lembaga pengadilan, tempat bagi pencari keadilan (justice seeker) untuk mencari keadilan. Mahfud tidak boleh bermain-main untuk dua hal tersebut. Isu yang beredar, naiknya Mahfud sebagai Ketua MK karena sokongan "pihak tertentu". Pihak tersebut tidak begitu bahagia dengan Jimly karena sepak terjangnya yang terlalu independen, dan belakangan sering melakukan langkah-langkah kuda bak permainan catur, terutama terkait dengan medan pertarungan Pemilu 2009. Jimly harus dihentikan dan Mahfud dianggap paling layak untuk menggantikan.

Mampukah Mahfud keluar dari politik balas budi terhadap penyokongnya itu? Inilah tantangan bagi Mahfud, selain membunuh sepenuhnya ikatan batin terhadap parpol tertentu atau kolega-koleganya sesama politisi. Tantangan lain adalah membawa MK kembali pada jati diri sebagai lembaga peradilan. Pada tahun-tahun terakhir kepemimpinannya, Jimly terlalu politis. Di tangannya, MK tidak hanya menjadi lembaga pengawal konstitusi, melainkan juga telah tumbuh sebagai salah satu pusaran isu di Republik ini.

MK adalah Jimly, Jimly adalah MK. Kelembagaan MK yang sesungguhnya merupakan kelembagaan sembilan hakim konstitusi telah dipersonalisasi sedemikian rupa seolah-olah hanya menjadi lembaga sang ketua, yang melayani keinginan-keinginan ketuanya, karena sang ketua punya target-terget politik tertentu.

Mahfud harus mampu menjadi antitetis dari fenomena ini. Mukhtie Fadjar, salah seorang hakim konstitusi yang akhirnya terpilih mendampingi Mahfud sebagai Wakil Ketua MK, secara tepat menyatakan sebelum pemilihan Ketua MK, bahwa seorang hakim adalah orang yang kesepian. Tidak boleh tumbuh sebagai sorang selebriti. Intinya, hakim harus berani tidak populer, tidak banyak bicara, tetapi banyak bertindak adil melalui putusan-putusannya. Hakim dan selebriti ibarat air dan minyak, tidak bisa menyatu.

Pada saat terpilih sebagai Ketua MK pada 2003, Jimly sering menyebut sembilan hakim MK sebagai "sembilan pintu kebenaran." Bayangan saya dengan pernyataan itu, ada keinginan kuat untuk membangun sembilan institusi hakim konstitusi dalam MK seperti the Nine Salomon-nya sembilan hakim agung AS. Faktanya kemudian, institusi delapan hakim lainnya tidak terbentuk. Yang kuat hanyalah institusi Ketua MK. Padahal, jabatan Ketua MK sebenarnya sekadar koordinator, bukan penguasa tunggal seperti halnya presiden. Masalahnya, sering pimpinan lembaga di Republik ini bergerak dengan personal interest dan lembaga dibawa untuk melayani keinginan tersebut.

Tantangan Mahfud ke depan adalah sharing power dengan delapan hakim konstitusi lainnya. Mahfud harus mampu mewujudkan proyek "sembilan pintu kebenaran" yang baru sebatas ide pada periode kepemimpinan Jimly. Sumber daya manusia dan sumber daya finansial harus didistribusikan kepada para hakim konstitusi, tidak boleh dikuasai sendiri. Hakim konstitusi harus dibantu dengan supporting staff yang dapat membantu mereka dalam mewujudkan tugas-tugas konstitusional, bukan target-target politik.

Peneliti Senior Centre for Electoral Reform (Cetro), Mantan Staf Ahli MK

Sumber: : http://www.jurnalnasional.com/?med=Koran%20Harian&sec=Opini&rbrk=&id=62714&detail=Opini


Selengkapnya.....