MK dan Kecemasan Intervensi Parpol

Refly Harun

Terpilihnya Prof. Mahfud MD sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), 19 Agustus lalu, membawa harapan sekaligus kecemasan. Kecemasan, karena Mahfud notabene adalah orang parpol. Publik tahu, sebelum terpilih sebagai hakim konstitusi dan kemudian Ketua MK, Mahfud adalah anggota DPR dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Meski kepakarannya dalam bidang hukum tatanegara tidak perlu diragukan lagi, "bau-bau" parpol tersebut tentu tidak mudah untuk dihilangkan.

Sejak awal, ketika pemilihan hakim konstitusi pertama pada 2003, saya telah menentang masuknya orang-orang parpol ke MK. Negarawan, salah satu syarat untuk menjadi hakim konstitusi, harus mereka yang beyond dari political interest. Orang politik tidak mungkin demikian karena kepentingan politik adalah menu sehari-hari. Merenggut kepentingan politik seorang politisi ibarat mengamputasi kaki seorang sprinter atau menghilangkan pita sura seorang penyanyi.
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) karya para politisi di Senayan secara cerdas membedakan syarat hakim konstitusi dan syarat untuk dapat diangkat menjadi hakim konstitusi. Ketika ingin menjadi hakim konstitusi, seorang politisi bisa saja bertarung di medan pemilihan Presiden, DPR, atau bahkan MA, asal setelah terpilih dan akan dilantik menjadi hakim konstitusi, yang bersangkutan mengundurkann diri dari parpol. Mahfud dan Akil Mukhtar telah memanfaatkan celah ini untuk maju pada medan pertarungan DPR. Mereka menang.

Terlepas pada reputasi Mahfud, saya menilai praktik seperti ini tidak seharusnya dipertahankan. Harus ada jedah yang signifikan bagi seorang politisi bila ingin menjadi negarawan. Hari-hari terakhir ini kita melihat betapa posisi-posisi publik memberikan karpet merah kepada para politisi. Politisi diperbolehkan merambah ke mana-mana, termasuk ke lembaga yang seharusnya steril dari politisi seperti hakim konstitusi.

Sharing Power
MK pada periode kepemimpinan Jimly Asshiddiqie harus diakui banyak mencetak prestasi dan mengundang apresiasi, tetapi bukan berarti tanpa kekurangan. Hadirnya Mahfud dalam tampuk kepemimpinan MK diharapkan mempertahankan prestasi yang telah diraih dan menambal kekurangan yang ada. Independensi sembilan hakim konstitusi dalam memutuskan perkara dan belum terciumnya bau mafia peradilan adalah dua prestasi yang patut dipertahankan.
Independensi hakim dalam memutuskan perkara dan bebasnya sebuah institusi peradilan dari judicial corruption adalah ruh. Tanpa itu, lembaga pengadilan bukanlah lembaga pengadilan, tempat bagi pencari keadilan (justice seeker) untuk mencari keadilan. Mahfud tidak boleh bermain-main untuk dua hal tersebut. Isu yang beredar, naiknya Mahfud sebagai Ketua MK karena sokongan "pihak tertentu". Pihak tersebut tidak begitu bahagia dengan Jimly karena sepak terjangnya yang terlalu independen, dan belakangan sering melakukan langkah-langkah kuda bak permainan catur, terutama terkait dengan medan pertarungan Pemilu 2009. Jimly harus dihentikan dan Mahfud dianggap paling layak untuk menggantikan.

Mampukah Mahfud keluar dari politik balas budi terhadap penyokongnya itu? Inilah tantangan bagi Mahfud, selain membunuh sepenuhnya ikatan batin terhadap parpol tertentu atau kolega-koleganya sesama politisi. Tantangan lain adalah membawa MK kembali pada jati diri sebagai lembaga peradilan. Pada tahun-tahun terakhir kepemimpinannya, Jimly terlalu politis. Di tangannya, MK tidak hanya menjadi lembaga pengawal konstitusi, melainkan juga telah tumbuh sebagai salah satu pusaran isu di Republik ini.

MK adalah Jimly, Jimly adalah MK. Kelembagaan MK yang sesungguhnya merupakan kelembagaan sembilan hakim konstitusi telah dipersonalisasi sedemikian rupa seolah-olah hanya menjadi lembaga sang ketua, yang melayani keinginan-keinginan ketuanya, karena sang ketua punya target-terget politik tertentu.

Mahfud harus mampu menjadi antitetis dari fenomena ini. Mukhtie Fadjar, salah seorang hakim konstitusi yang akhirnya terpilih mendampingi Mahfud sebagai Wakil Ketua MK, secara tepat menyatakan sebelum pemilihan Ketua MK, bahwa seorang hakim adalah orang yang kesepian. Tidak boleh tumbuh sebagai sorang selebriti. Intinya, hakim harus berani tidak populer, tidak banyak bicara, tetapi banyak bertindak adil melalui putusan-putusannya. Hakim dan selebriti ibarat air dan minyak, tidak bisa menyatu.

Pada saat terpilih sebagai Ketua MK pada 2003, Jimly sering menyebut sembilan hakim MK sebagai "sembilan pintu kebenaran." Bayangan saya dengan pernyataan itu, ada keinginan kuat untuk membangun sembilan institusi hakim konstitusi dalam MK seperti the Nine Salomon-nya sembilan hakim agung AS. Faktanya kemudian, institusi delapan hakim lainnya tidak terbentuk. Yang kuat hanyalah institusi Ketua MK. Padahal, jabatan Ketua MK sebenarnya sekadar koordinator, bukan penguasa tunggal seperti halnya presiden. Masalahnya, sering pimpinan lembaga di Republik ini bergerak dengan personal interest dan lembaga dibawa untuk melayani keinginan tersebut.

Tantangan Mahfud ke depan adalah sharing power dengan delapan hakim konstitusi lainnya. Mahfud harus mampu mewujudkan proyek "sembilan pintu kebenaran" yang baru sebatas ide pada periode kepemimpinan Jimly. Sumber daya manusia dan sumber daya finansial harus didistribusikan kepada para hakim konstitusi, tidak boleh dikuasai sendiri. Hakim konstitusi harus dibantu dengan supporting staff yang dapat membantu mereka dalam mewujudkan tugas-tugas konstitusional, bukan target-target politik.

Peneliti Senior Centre for Electoral Reform (Cetro), Mantan Staf Ahli MK

Sumber: : http://www.jurnalnasional.com/?med=Koran%20Harian&sec=Opini&rbrk=&id=62714&detail=Opini


Refly Harun

Terpilihnya Prof. Mahfud MD sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), 19 Agustus lalu, membawa harapan sekaligus kecemasan. Kecemasan, karena Mahfud notabene adalah orang parpol. Publik tahu, sebelum terpilih sebagai hakim konstitusi dan kemudian Ketua MK, Mahfud adalah anggota DPR dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Meski kepakarannya dalam bidang hukum tatanegara tidak perlu diragukan lagi, "bau-bau" parpol tersebut tentu tidak mudah untuk dihilangkan.

Sejak awal, ketika pemilihan hakim konstitusi pertama pada 2003, saya telah menentang masuknya orang-orang parpol ke MK. Negarawan, salah satu syarat untuk menjadi hakim konstitusi, harus mereka yang beyond dari political interest. Orang politik tidak mungkin demikian karena kepentingan politik adalah menu sehari-hari. Merenggut kepentingan politik seorang politisi ibarat mengamputasi kaki seorang sprinter atau menghilangkan pita sura seorang penyanyi.
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) karya para politisi di Senayan secara cerdas membedakan syarat hakim konstitusi dan syarat untuk dapat diangkat menjadi hakim konstitusi. Ketika ingin menjadi hakim konstitusi, seorang politisi bisa saja bertarung di medan pemilihan Presiden, DPR, atau bahkan MA, asal setelah terpilih dan akan dilantik menjadi hakim konstitusi, yang bersangkutan mengundurkann diri dari parpol. Mahfud dan Akil Mukhtar telah memanfaatkan celah ini untuk maju pada medan pertarungan DPR. Mereka menang.

Terlepas pada reputasi Mahfud, saya menilai praktik seperti ini tidak seharusnya dipertahankan. Harus ada jedah yang signifikan bagi seorang politisi bila ingin menjadi negarawan. Hari-hari terakhir ini kita melihat betapa posisi-posisi publik memberikan karpet merah kepada para politisi. Politisi diperbolehkan merambah ke mana-mana, termasuk ke lembaga yang seharusnya steril dari politisi seperti hakim konstitusi.

Sharing Power
MK pada periode kepemimpinan Jimly Asshiddiqie harus diakui banyak mencetak prestasi dan mengundang apresiasi, tetapi bukan berarti tanpa kekurangan. Hadirnya Mahfud dalam tampuk kepemimpinan MK diharapkan mempertahankan prestasi yang telah diraih dan menambal kekurangan yang ada. Independensi sembilan hakim konstitusi dalam memutuskan perkara dan belum terciumnya bau mafia peradilan adalah dua prestasi yang patut dipertahankan.
Independensi hakim dalam memutuskan perkara dan bebasnya sebuah institusi peradilan dari judicial corruption adalah ruh. Tanpa itu, lembaga pengadilan bukanlah lembaga pengadilan, tempat bagi pencari keadilan (justice seeker) untuk mencari keadilan. Mahfud tidak boleh bermain-main untuk dua hal tersebut. Isu yang beredar, naiknya Mahfud sebagai Ketua MK karena sokongan "pihak tertentu". Pihak tersebut tidak begitu bahagia dengan Jimly karena sepak terjangnya yang terlalu independen, dan belakangan sering melakukan langkah-langkah kuda bak permainan catur, terutama terkait dengan medan pertarungan Pemilu 2009. Jimly harus dihentikan dan Mahfud dianggap paling layak untuk menggantikan.

Mampukah Mahfud keluar dari politik balas budi terhadap penyokongnya itu? Inilah tantangan bagi Mahfud, selain membunuh sepenuhnya ikatan batin terhadap parpol tertentu atau kolega-koleganya sesama politisi. Tantangan lain adalah membawa MK kembali pada jati diri sebagai lembaga peradilan. Pada tahun-tahun terakhir kepemimpinannya, Jimly terlalu politis. Di tangannya, MK tidak hanya menjadi lembaga pengawal konstitusi, melainkan juga telah tumbuh sebagai salah satu pusaran isu di Republik ini.

MK adalah Jimly, Jimly adalah MK. Kelembagaan MK yang sesungguhnya merupakan kelembagaan sembilan hakim konstitusi telah dipersonalisasi sedemikian rupa seolah-olah hanya menjadi lembaga sang ketua, yang melayani keinginan-keinginan ketuanya, karena sang ketua punya target-terget politik tertentu.

Mahfud harus mampu menjadi antitetis dari fenomena ini. Mukhtie Fadjar, salah seorang hakim konstitusi yang akhirnya terpilih mendampingi Mahfud sebagai Wakil Ketua MK, secara tepat menyatakan sebelum pemilihan Ketua MK, bahwa seorang hakim adalah orang yang kesepian. Tidak boleh tumbuh sebagai sorang selebriti. Intinya, hakim harus berani tidak populer, tidak banyak bicara, tetapi banyak bertindak adil melalui putusan-putusannya. Hakim dan selebriti ibarat air dan minyak, tidak bisa menyatu.

Pada saat terpilih sebagai Ketua MK pada 2003, Jimly sering menyebut sembilan hakim MK sebagai "sembilan pintu kebenaran." Bayangan saya dengan pernyataan itu, ada keinginan kuat untuk membangun sembilan institusi hakim konstitusi dalam MK seperti the Nine Salomon-nya sembilan hakim agung AS. Faktanya kemudian, institusi delapan hakim lainnya tidak terbentuk. Yang kuat hanyalah institusi Ketua MK. Padahal, jabatan Ketua MK sebenarnya sekadar koordinator, bukan penguasa tunggal seperti halnya presiden. Masalahnya, sering pimpinan lembaga di Republik ini bergerak dengan personal interest dan lembaga dibawa untuk melayani keinginan tersebut.

Tantangan Mahfud ke depan adalah sharing power dengan delapan hakim konstitusi lainnya. Mahfud harus mampu mewujudkan proyek "sembilan pintu kebenaran" yang baru sebatas ide pada periode kepemimpinan Jimly. Sumber daya manusia dan sumber daya finansial harus didistribusikan kepada para hakim konstitusi, tidak boleh dikuasai sendiri. Hakim konstitusi harus dibantu dengan supporting staff yang dapat membantu mereka dalam mewujudkan tugas-tugas konstitusional, bukan target-target politik.

Peneliti Senior Centre for Electoral Reform (Cetro), Mantan Staf Ahli MK

Sumber: : http://www.jurnalnasional.com/?med=Koran%20Harian&sec=Opini&rbrk=&id=62714&detail=Opini


0 komentar: