Menyoroti Ketetapan MK Soal Hasil Pemilukada Ulang

Oleh Miftakhul Huda*

Mahkamah Konstitusi (MK) menetapkan tidak meregister permohonan keberatan II yang diajukan pasangan Khofifah Indar Parawansa-Mudjiono (Kaji) tentang penetapan Komisi Pemilihan Umum Provinsi Jawa Timur (KPU Jatim) yang memenangkan pasangan Soekarwo-Syaifullah Yusuf (Karsa) dengan selisih 34.104 suara. Penghitungan suara ulang di Pamekasan dan pencoblosan ulang di Bangkalan dan Sampang dilakukan atas perintah MK, dikarenakan terbukti di persidangan sebelumnya Karsa telah melakukan pelanggaran sistematis, terstuktur dan masif (putusan MK No.41/PHPU.D-VI/2008).

Argumen MK menetapkan demikian, yaitu: Pertama, putusan MK yang memerintahkan penghitungan suara dan pencoblosan ulang merupakan putusan final dan mengikat dan Termohon telah melaksanakannya yang dituangkan dalam SK KPU Jatim No.01 Tahun 2009 tentang Penetapan Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Provinsi Jawa Timur Tahun 2009 dan SK KPU Jatim No.02 Tahun 2009 tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Provinsi Jawa Timur. Kedua, persoalan-persoalan hukum yang muncul dalam permohonan berdasarkan penilaian awal (prima facie) merupakan pelanggaran administratif dan pidana di luar kewenangan MK. Ketiga, SK KPU Jatim No. 01 Tahun 2009 merupakan bagian proses pemilukada Jatim putaran II, sehingga permohonan Kaji bukan permohonan baru.




Final dan Mengikat?
Yang terlewatkan dalam mempertimbangkan kewenangan menyelesaikan sengketa hasil pemilukada merupakan kewenangan asli (original power) yang diberikan konstitusi, sehingga putusan MK final dan mengikat (final and binding). Peradilan konstitusi ini telah mundur ke belakang dengan memahami putusan final secara keliru. Dengan menyatakan pemilukada sebagai bagian dari kewenangan memutus hasil pemilu, MK hanya tunduk kepada konstitusi dan tidak terpenjara oleh UU. Konstuksi hukum sebelum ditangani MK jika digunakan, maka putusan sengketa pemilukada berdasarkan putusan MK masih bisa disengketakan dalam lembaga peninjauan kembali seperti pada kasus Depok yang memenangkan Nurmahmudi Ismail.

Konsekuensi selanjutnya, jika anggapan kewenangan lahir dari UU, legislator setiap saat dapat menarik kewenangan tersebut. Kewenangan praktis operasional memang digunakan pasca ditetapkan UU No.12 Tahun 2008, namun secara atributif lahir dengan ditetapkannya kekuasaan MK dalam Perubahan Ketiga UUD 1945. Kewenangan menyelasaikan sengketa pemilukada ditegaskan berdasarkan penafsiran MK dalam constitutional review tentang pemilukada termasuk rezim pemilihan umum, sehingga kewenangan dialihkan dari Mahkamah Agung kepada MK.

Final dan mengikat semestinya dipahami tidak termasuk hasil rekapitulasi tiga kabupaten di Madura yaitu Pamekasan, Bangkalan dan Sampang. MK sesuai putusannya sendiri pada 2 Desember 2008, yang menyatakan batal dan tidak mengikat SK KPU Jatim tentang rekapitulasi penghitungan suara pemilukada putaran II, sepanjang rekapitulasi penghitungan suara di Kabupaten Bangkalan, Kabupaten Sampang dan Kabupaten Pamekasan. Itu artinya, pilkada putaran II di tiga kabupaten tersebut dianggap tidak terjadi, dan menunggu hasil dilaksanakan pemungutan suara dan pencoblosan ulang jika tidak terdapat keberatan kembali mengenai keabsahannya. Keberatan atas pelaksanaan penghitungan suara ulang merupakan permohonan baru, sebagaimana keberatan pidana dan administratif dapat dipersoalkan kembali berdasarkan fakta terbaru di sekitar perintah MK.

Pelaksanaan coblos ulang sesuai putusan MK merupakan fase baru yang berbeda dengan fase sebelumnya. Keberatan ke MK hanya diperkenankan terbatas tiga kabupaten tersebut. Itupun terbatas dugaan terjadinya sengketa mengenai hasil pemilukada yang berpengaruh terhadap terpilihnya calon. Pihak yang mengajukan keberatan juga tidak diperkenankan mengajukan persoalan hukum yang telah dipertimbangkan MK sebelumnya atau pelanggaran yang menjadi ranah pidana atau administratif. Akan tetapi, MK telah mengajarkan kita dalam menafsirkan putusan final, apapun yang terjadi pasca putusan MK, meski berpengaruh terhadap hasil pemilukada bukan lagi merupakan kewenangannya.

Selain itu, meski MK dengan Ketetapan tidak meregistrasi tidak menutup pintu penyelesaian menyangkut pidana oleh penegak hukum dan penyelesaian administratif, putusan ini tidak berarti apa-apa bagi keadilan substantif yang di pegang MK pada putusan sebelumnya dengan meninggalkan keadilan prosedural. Dengan ketetapan bahwa putusan MK sudah final dan mengikat termasuk tiga kabupaten tersebut, pelanggaran-pelanggaran apapun yang terbukti di persidangan nantinya meski termasuk mempengaruhi terpilihnya pasangan calon sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak akan merubah putusan MK. Itu sangat bertentangan dengan logika hukum, seperti pada kasus sengketa pemilu 2004, putusan MK telah final dan mengikat, akan tetapi disisi lain, bukti yang digunakan di MK terbukti di peradilan pidana merupakan palsu.

Kemunduran MK
Ketetapan MK soal keberatan Kaji mengenai hasil pemungutan suara pada 21 Januari 2009 dan pencoblosan ulang pada 28 Desember 2008 merupakan kemunduran dan akan menimbulkan preseden buruk. Selain putusan pemilukada Jatim, terdapat tiga perkara yang memerintahkan pemungutan suara ulang yaitu di Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Timur Tengah Selatan, dan Bengkulu Selatan. Jika MK nanti bersikap konsisten, maka keberatan apapun berkenaan dengan pelaksanaan pencoblosan ulang tidak dapat diselesaikan di MK.

Padahal secara kasat mata, akan terdapat standar berbeda dalam menilai sengketa yang sama. Kondisi yang sama pada saat yang berbeda tidak dapat diadili di MK. Hal ini akan menimbulkan ketidakadilan tersendiri bagi pasangan calon yang dirugikan. Memang, harus diakui, perintah pencoblosan ulang menimbulkan kejenuhan pada pemilih dan membengkaknya biaya negara, akan tetapi penting bagi tujuan mencapai keadilan substantif. MK memilih membuat putusan di luar kelaziman, dan seharusnya tidak mundur ke belakang dengan mengedepankan kepastian hukum dan mengabaikan integritas pemilukada.

Seharusnya MK hanya mempertimbangkan menggunakan dasar konstitusionalitas dan tidak terbawa arus oleh opini publik atau faktor di luar kebenaran hukum itu sendiri. Putusan ini menghindari menumpuknya perkara, karena satu perkara bisa diajukan lebih dari satu kali jika memerintahkan pencoblosan ulang. Pintu keadilan bagi calon tertutup ketika menggangap adanya sengketa hasil penghitungan suara yang ditetapkan KPU Provinsi, Kabupaten atau Kota. MK sebagai peradilan mestinya tidak jauh masuk sebagai lembaga pertimbangan, penasehat atau fatwa yang sebenarnya di luar ranah MK. Wallahu A’lam

* Praktisi Hukum, Surabaya

Oleh Miftakhul Huda*

Mahkamah Konstitusi (MK) menetapkan tidak meregister permohonan keberatan II yang diajukan pasangan Khofifah Indar Parawansa-Mudjiono (Kaji) tentang penetapan Komisi Pemilihan Umum Provinsi Jawa Timur (KPU Jatim) yang memenangkan pasangan Soekarwo-Syaifullah Yusuf (Karsa) dengan selisih 34.104 suara. Penghitungan suara ulang di Pamekasan dan pencoblosan ulang di Bangkalan dan Sampang dilakukan atas perintah MK, dikarenakan terbukti di persidangan sebelumnya Karsa telah melakukan pelanggaran sistematis, terstuktur dan masif (putusan MK No.41/PHPU.D-VI/2008).

Argumen MK menetapkan demikian, yaitu: Pertama, putusan MK yang memerintahkan penghitungan suara dan pencoblosan ulang merupakan putusan final dan mengikat dan Termohon telah melaksanakannya yang dituangkan dalam SK KPU Jatim No.01 Tahun 2009 tentang Penetapan Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Provinsi Jawa Timur Tahun 2009 dan SK KPU Jatim No.02 Tahun 2009 tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Provinsi Jawa Timur. Kedua, persoalan-persoalan hukum yang muncul dalam permohonan berdasarkan penilaian awal (prima facie) merupakan pelanggaran administratif dan pidana di luar kewenangan MK. Ketiga, SK KPU Jatim No. 01 Tahun 2009 merupakan bagian proses pemilukada Jatim putaran II, sehingga permohonan Kaji bukan permohonan baru.




Final dan Mengikat?
Yang terlewatkan dalam mempertimbangkan kewenangan menyelesaikan sengketa hasil pemilukada merupakan kewenangan asli (original power) yang diberikan konstitusi, sehingga putusan MK final dan mengikat (final and binding). Peradilan konstitusi ini telah mundur ke belakang dengan memahami putusan final secara keliru. Dengan menyatakan pemilukada sebagai bagian dari kewenangan memutus hasil pemilu, MK hanya tunduk kepada konstitusi dan tidak terpenjara oleh UU. Konstuksi hukum sebelum ditangani MK jika digunakan, maka putusan sengketa pemilukada berdasarkan putusan MK masih bisa disengketakan dalam lembaga peninjauan kembali seperti pada kasus Depok yang memenangkan Nurmahmudi Ismail.

Konsekuensi selanjutnya, jika anggapan kewenangan lahir dari UU, legislator setiap saat dapat menarik kewenangan tersebut. Kewenangan praktis operasional memang digunakan pasca ditetapkan UU No.12 Tahun 2008, namun secara atributif lahir dengan ditetapkannya kekuasaan MK dalam Perubahan Ketiga UUD 1945. Kewenangan menyelasaikan sengketa pemilukada ditegaskan berdasarkan penafsiran MK dalam constitutional review tentang pemilukada termasuk rezim pemilihan umum, sehingga kewenangan dialihkan dari Mahkamah Agung kepada MK.

Final dan mengikat semestinya dipahami tidak termasuk hasil rekapitulasi tiga kabupaten di Madura yaitu Pamekasan, Bangkalan dan Sampang. MK sesuai putusannya sendiri pada 2 Desember 2008, yang menyatakan batal dan tidak mengikat SK KPU Jatim tentang rekapitulasi penghitungan suara pemilukada putaran II, sepanjang rekapitulasi penghitungan suara di Kabupaten Bangkalan, Kabupaten Sampang dan Kabupaten Pamekasan. Itu artinya, pilkada putaran II di tiga kabupaten tersebut dianggap tidak terjadi, dan menunggu hasil dilaksanakan pemungutan suara dan pencoblosan ulang jika tidak terdapat keberatan kembali mengenai keabsahannya. Keberatan atas pelaksanaan penghitungan suara ulang merupakan permohonan baru, sebagaimana keberatan pidana dan administratif dapat dipersoalkan kembali berdasarkan fakta terbaru di sekitar perintah MK.

Pelaksanaan coblos ulang sesuai putusan MK merupakan fase baru yang berbeda dengan fase sebelumnya. Keberatan ke MK hanya diperkenankan terbatas tiga kabupaten tersebut. Itupun terbatas dugaan terjadinya sengketa mengenai hasil pemilukada yang berpengaruh terhadap terpilihnya calon. Pihak yang mengajukan keberatan juga tidak diperkenankan mengajukan persoalan hukum yang telah dipertimbangkan MK sebelumnya atau pelanggaran yang menjadi ranah pidana atau administratif. Akan tetapi, MK telah mengajarkan kita dalam menafsirkan putusan final, apapun yang terjadi pasca putusan MK, meski berpengaruh terhadap hasil pemilukada bukan lagi merupakan kewenangannya.

Selain itu, meski MK dengan Ketetapan tidak meregistrasi tidak menutup pintu penyelesaian menyangkut pidana oleh penegak hukum dan penyelesaian administratif, putusan ini tidak berarti apa-apa bagi keadilan substantif yang di pegang MK pada putusan sebelumnya dengan meninggalkan keadilan prosedural. Dengan ketetapan bahwa putusan MK sudah final dan mengikat termasuk tiga kabupaten tersebut, pelanggaran-pelanggaran apapun yang terbukti di persidangan nantinya meski termasuk mempengaruhi terpilihnya pasangan calon sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak akan merubah putusan MK. Itu sangat bertentangan dengan logika hukum, seperti pada kasus sengketa pemilu 2004, putusan MK telah final dan mengikat, akan tetapi disisi lain, bukti yang digunakan di MK terbukti di peradilan pidana merupakan palsu.

Kemunduran MK
Ketetapan MK soal keberatan Kaji mengenai hasil pemungutan suara pada 21 Januari 2009 dan pencoblosan ulang pada 28 Desember 2008 merupakan kemunduran dan akan menimbulkan preseden buruk. Selain putusan pemilukada Jatim, terdapat tiga perkara yang memerintahkan pemungutan suara ulang yaitu di Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Timur Tengah Selatan, dan Bengkulu Selatan. Jika MK nanti bersikap konsisten, maka keberatan apapun berkenaan dengan pelaksanaan pencoblosan ulang tidak dapat diselesaikan di MK.

Padahal secara kasat mata, akan terdapat standar berbeda dalam menilai sengketa yang sama. Kondisi yang sama pada saat yang berbeda tidak dapat diadili di MK. Hal ini akan menimbulkan ketidakadilan tersendiri bagi pasangan calon yang dirugikan. Memang, harus diakui, perintah pencoblosan ulang menimbulkan kejenuhan pada pemilih dan membengkaknya biaya negara, akan tetapi penting bagi tujuan mencapai keadilan substantif. MK memilih membuat putusan di luar kelaziman, dan seharusnya tidak mundur ke belakang dengan mengedepankan kepastian hukum dan mengabaikan integritas pemilukada.

Seharusnya MK hanya mempertimbangkan menggunakan dasar konstitusionalitas dan tidak terbawa arus oleh opini publik atau faktor di luar kebenaran hukum itu sendiri. Putusan ini menghindari menumpuknya perkara, karena satu perkara bisa diajukan lebih dari satu kali jika memerintahkan pencoblosan ulang. Pintu keadilan bagi calon tertutup ketika menggangap adanya sengketa hasil penghitungan suara yang ditetapkan KPU Provinsi, Kabupaten atau Kota. MK sebagai peradilan mestinya tidak jauh masuk sebagai lembaga pertimbangan, penasehat atau fatwa yang sebenarnya di luar ranah MK. Wallahu A’lam

* Praktisi Hukum, Surabaya

0 komentar: