Objectum Litis

Objectum litis dalam praktek hukum dikenal dengan istilah objek perkara atau objek sengketa. Dalam perkara yang menjadi kewenangan pengadilan di dibawah Mahkamah Agung memiliki objek perkara atau objectum litis yang berbeda-beda. Misalkan, untuk Pengadilan Negeri memiliki kewenangan memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama, dan Pengadilan Tinggi sebagai pengadilan di tingkat banding.

Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) berbeda dengan Pengadilan Negeri, objek perkaranya di PTUN adalah mengenai sengketa Tata Usaha Negara. Yaitu sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN), termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. KTUN sendiri adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.



Sedangkan perkara yang menjadi kewenangan MK, objek perkaranya tergantung jenis perkaranya yaitu empat kewenangan dan satu kewajiban. Beberapa jenis perkara yang menjadi kewenangan MK, yaitu:
(i) untuk perkara pengujian undang-undang objek perkaranya adalah undang-undang yaitu peraturan perundang-undangan yang dibentuk DPR dan Presiden, baik undang-undang yang diundangkan sebelum atau sesudah Perubahan UUD 1945. Undang-Undang, meliputi pasal-pasal dalam batang tubuh dan penjelasan dapat diuji konstitusionalitasnya di MK. Pengujian terdari dari pengujian berkenaan dengan materi muatan undang-undang (materiil) dan pengujian berkenaan proses pembentukan undang-undang dan hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil dapat disebut pengujian formil.

(ii) untuk perkara “sengketa kewenangan lembaga Negara yang dikewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar” (SKLN), objectum litis-nya adalah kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar. Jika terdapat sengketa kewenangan yang bukan kewenangan yang diberikan Undang-Undang Dasar (UUD), maka bukan menjadi kewenangan MK untuk mengadilinya. Jika sampai pekara tersebut dimasukkan, maka hakim konstitusi harus menyatakan tidak berwenang. Dalam putusan mengenai perkara SKLN, MK pernah membuat pertimbangan bahwa kewenangan lembaga negara tidak cukup hanya dilihat secara tekstual saja, akan tetapi kewenangan implisit dan kewenangan yang diperlukan (necessary and proper) untuk melaksanakan kewenangan pokok yang pengaturannya dapat saja dimuat dalam undang-undang. (Putusan MK No. 004/SKLN-IV/2006)

(iii) untuk perkara perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah (PHPU.D) yang menjadi objek perkara adalah hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh Termohon yaitu KPU/KIP Provinsi atau KPU/ KIP Kabupaten/Kota yang mempengaruhi: a. penentuan Pasangan Calon yang dapat mengikuti putaran kedua pemilukada; atau b. terpilihnya Pasangan Calon sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah. (Pasal 4 PMK No. 15 Tahun 2008)

Selanjutnya, perkara perselisihan hasil pemilihan umum Anggota DPR, DPD dan DPRD (PHPU) objek perkara atau objectum litis-nya adalah penetapan perolehan suara hasil pemilu yang telah diumumkan secara nasional oleh KPU yang mempengaruhi: (a) terpenuhinya ambang batas perolehan suara 2,5 % (dua koma lima perseratus) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 ayat (1) UU No.10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. (b) perolehan kursi partai politik peserta pemilu di suatu daerah pemilihan; (c) perolehan kursi partai politik dan partai politik lokal peserta pemilu di Aceh; (d) terpilihnya calon anggota DPD. (Pasal 5 PMK No. 16 Tahun 2009)

Sedangkan perkara perselisihan hasil pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden (PHPU) objectum litis-nya adalah penetapan perolehan suara hasil pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang dilakukan secara nasional oleh KPU yang mempengaruhi: a. penentuan pasangan calon yang masuk pada putaran kedua Pemilu Presiden dan Wakil Presiden; atau b. terpilihnya pasangan calon sebagai Presiden dan Wakil Presiden. (Pasal 4 PMK No.17 Tahun 2009)

(iv) untuk perkara memutus pembubaran partai politik, objek perkaranya adalah ideologi, asas, tujuan, program dan kegiatan partai politik yang dimohonkan pembubaran yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian pembubaran sebuah partai politik, Pemerintah tidak dapat semata-mata mendasarkan alasannya hanya berdasarkan kepentingan golongan atau pribadi saja. Meskipun, mengadili masalah politik, putusan MK semata-mata merupakan putusan hukum, bukan putusan politik.

Tidak terpenuhinya objectum litis, menjadikan sebuah perkara akan diputus tidak dapat diterima oleh Mahkamah Konstitusi, karena tidak memenuhi syarat pemohon berhak mengajukan permohonan (legal standing). (Miftakhul Huda)

Sumber: Majalah Kontitusi BMK, No.28-April 2009, hal. 75

Objectum litis dalam praktek hukum dikenal dengan istilah objek perkara atau objek sengketa. Dalam perkara yang menjadi kewenangan pengadilan di dibawah Mahkamah Agung memiliki objek perkara atau objectum litis yang berbeda-beda. Misalkan, untuk Pengadilan Negeri memiliki kewenangan memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama, dan Pengadilan Tinggi sebagai pengadilan di tingkat banding.

Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) berbeda dengan Pengadilan Negeri, objek perkaranya di PTUN adalah mengenai sengketa Tata Usaha Negara. Yaitu sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN), termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. KTUN sendiri adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.



Sedangkan perkara yang menjadi kewenangan MK, objek perkaranya tergantung jenis perkaranya yaitu empat kewenangan dan satu kewajiban. Beberapa jenis perkara yang menjadi kewenangan MK, yaitu:
(i) untuk perkara pengujian undang-undang objek perkaranya adalah undang-undang yaitu peraturan perundang-undangan yang dibentuk DPR dan Presiden, baik undang-undang yang diundangkan sebelum atau sesudah Perubahan UUD 1945. Undang-Undang, meliputi pasal-pasal dalam batang tubuh dan penjelasan dapat diuji konstitusionalitasnya di MK. Pengujian terdari dari pengujian berkenaan dengan materi muatan undang-undang (materiil) dan pengujian berkenaan proses pembentukan undang-undang dan hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil dapat disebut pengujian formil.

(ii) untuk perkara “sengketa kewenangan lembaga Negara yang dikewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar” (SKLN), objectum litis-nya adalah kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar. Jika terdapat sengketa kewenangan yang bukan kewenangan yang diberikan Undang-Undang Dasar (UUD), maka bukan menjadi kewenangan MK untuk mengadilinya. Jika sampai pekara tersebut dimasukkan, maka hakim konstitusi harus menyatakan tidak berwenang. Dalam putusan mengenai perkara SKLN, MK pernah membuat pertimbangan bahwa kewenangan lembaga negara tidak cukup hanya dilihat secara tekstual saja, akan tetapi kewenangan implisit dan kewenangan yang diperlukan (necessary and proper) untuk melaksanakan kewenangan pokok yang pengaturannya dapat saja dimuat dalam undang-undang. (Putusan MK No. 004/SKLN-IV/2006)

(iii) untuk perkara perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah (PHPU.D) yang menjadi objek perkara adalah hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh Termohon yaitu KPU/KIP Provinsi atau KPU/ KIP Kabupaten/Kota yang mempengaruhi: a. penentuan Pasangan Calon yang dapat mengikuti putaran kedua pemilukada; atau b. terpilihnya Pasangan Calon sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah. (Pasal 4 PMK No. 15 Tahun 2008)

Selanjutnya, perkara perselisihan hasil pemilihan umum Anggota DPR, DPD dan DPRD (PHPU) objek perkara atau objectum litis-nya adalah penetapan perolehan suara hasil pemilu yang telah diumumkan secara nasional oleh KPU yang mempengaruhi: (a) terpenuhinya ambang batas perolehan suara 2,5 % (dua koma lima perseratus) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 ayat (1) UU No.10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. (b) perolehan kursi partai politik peserta pemilu di suatu daerah pemilihan; (c) perolehan kursi partai politik dan partai politik lokal peserta pemilu di Aceh; (d) terpilihnya calon anggota DPD. (Pasal 5 PMK No. 16 Tahun 2009)

Sedangkan perkara perselisihan hasil pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden (PHPU) objectum litis-nya adalah penetapan perolehan suara hasil pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang dilakukan secara nasional oleh KPU yang mempengaruhi: a. penentuan pasangan calon yang masuk pada putaran kedua Pemilu Presiden dan Wakil Presiden; atau b. terpilihnya pasangan calon sebagai Presiden dan Wakil Presiden. (Pasal 4 PMK No.17 Tahun 2009)

(iv) untuk perkara memutus pembubaran partai politik, objek perkaranya adalah ideologi, asas, tujuan, program dan kegiatan partai politik yang dimohonkan pembubaran yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian pembubaran sebuah partai politik, Pemerintah tidak dapat semata-mata mendasarkan alasannya hanya berdasarkan kepentingan golongan atau pribadi saja. Meskipun, mengadili masalah politik, putusan MK semata-mata merupakan putusan hukum, bukan putusan politik.

Tidak terpenuhinya objectum litis, menjadikan sebuah perkara akan diputus tidak dapat diterima oleh Mahkamah Konstitusi, karena tidak memenuhi syarat pemohon berhak mengajukan permohonan (legal standing). (Miftakhul Huda)

Sumber: Majalah Kontitusi BMK, No.28-April 2009, hal. 75

0 komentar: