Objectum Litis

Objectum litis dalam praktek hukum dikenal dengan istilah objek perkara atau objek sengketa. Dalam perkara yang menjadi kewenangan pengadilan di dibawah Mahkamah Agung memiliki objek perkara atau objectum litis yang berbeda-beda. Misalkan, untuk Pengadilan Negeri memiliki kewenangan memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama, dan Pengadilan Tinggi sebagai pengadilan di tingkat banding.

Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) berbeda dengan Pengadilan Negeri, objek perkaranya di PTUN adalah mengenai sengketa Tata Usaha Negara. Yaitu sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN), termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. KTUN sendiri adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.



Sedangkan perkara yang menjadi kewenangan MK, objek perkaranya tergantung jenis perkaranya yaitu empat kewenangan dan satu kewajiban. Beberapa jenis perkara yang menjadi kewenangan MK, yaitu:
(i) untuk perkara pengujian undang-undang objek perkaranya adalah undang-undang yaitu peraturan perundang-undangan yang dibentuk DPR dan Presiden, baik undang-undang yang diundangkan sebelum atau sesudah Perubahan UUD 1945. Undang-Undang, meliputi pasal-pasal dalam batang tubuh dan penjelasan dapat diuji konstitusionalitasnya di MK. Pengujian terdari dari pengujian berkenaan dengan materi muatan undang-undang (materiil) dan pengujian berkenaan proses pembentukan undang-undang dan hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil dapat disebut pengujian formil.

(ii) untuk perkara “sengketa kewenangan lembaga Negara yang dikewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar” (SKLN), objectum litis-nya adalah kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar. Jika terdapat sengketa kewenangan yang bukan kewenangan yang diberikan Undang-Undang Dasar (UUD), maka bukan menjadi kewenangan MK untuk mengadilinya. Jika sampai pekara tersebut dimasukkan, maka hakim konstitusi harus menyatakan tidak berwenang. Dalam putusan mengenai perkara SKLN, MK pernah membuat pertimbangan bahwa kewenangan lembaga negara tidak cukup hanya dilihat secara tekstual saja, akan tetapi kewenangan implisit dan kewenangan yang diperlukan (necessary and proper) untuk melaksanakan kewenangan pokok yang pengaturannya dapat saja dimuat dalam undang-undang. (Putusan MK No. 004/SKLN-IV/2006)

(iii) untuk perkara perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah (PHPU.D) yang menjadi objek perkara adalah hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh Termohon yaitu KPU/KIP Provinsi atau KPU/ KIP Kabupaten/Kota yang mempengaruhi: a. penentuan Pasangan Calon yang dapat mengikuti putaran kedua pemilukada; atau b. terpilihnya Pasangan Calon sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah. (Pasal 4 PMK No. 15 Tahun 2008)

Selanjutnya, perkara perselisihan hasil pemilihan umum Anggota DPR, DPD dan DPRD (PHPU) objek perkara atau objectum litis-nya adalah penetapan perolehan suara hasil pemilu yang telah diumumkan secara nasional oleh KPU yang mempengaruhi: (a) terpenuhinya ambang batas perolehan suara 2,5 % (dua koma lima perseratus) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 ayat (1) UU No.10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. (b) perolehan kursi partai politik peserta pemilu di suatu daerah pemilihan; (c) perolehan kursi partai politik dan partai politik lokal peserta pemilu di Aceh; (d) terpilihnya calon anggota DPD. (Pasal 5 PMK No. 16 Tahun 2009)

Sedangkan perkara perselisihan hasil pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden (PHPU) objectum litis-nya adalah penetapan perolehan suara hasil pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang dilakukan secara nasional oleh KPU yang mempengaruhi: a. penentuan pasangan calon yang masuk pada putaran kedua Pemilu Presiden dan Wakil Presiden; atau b. terpilihnya pasangan calon sebagai Presiden dan Wakil Presiden. (Pasal 4 PMK No.17 Tahun 2009)

(iv) untuk perkara memutus pembubaran partai politik, objek perkaranya adalah ideologi, asas, tujuan, program dan kegiatan partai politik yang dimohonkan pembubaran yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian pembubaran sebuah partai politik, Pemerintah tidak dapat semata-mata mendasarkan alasannya hanya berdasarkan kepentingan golongan atau pribadi saja. Meskipun, mengadili masalah politik, putusan MK semata-mata merupakan putusan hukum, bukan putusan politik.

Tidak terpenuhinya objectum litis, menjadikan sebuah perkara akan diputus tidak dapat diterima oleh Mahkamah Konstitusi, karena tidak memenuhi syarat pemohon berhak mengajukan permohonan (legal standing). (Miftakhul Huda)

Sumber: Majalah Kontitusi BMK, No.28-April 2009, hal. 75

Selengkapnya.....

Menelanjangi Mentalitas Individulistis

Judul : Hubungan Individu dan Masyarakat dalam Hukum Adat

Penulis : Prof. Dr. R. Soepomo

Penerbit : Pradnya Paramita

Tahun : Cet ke-2,1971


Miftakhul Huda, Redaktur Majalah Konstitusi

Buku “Hubungan Individu dan Masyarakat dalam Hukum Adat” ini semula pidato permulaan (inagurale rede) atau inaugurasi Soepomo sebagai Guru Besar Luar Biasa di Rechtshoogeschool Batavia dengan judul aslinya “De Verhouding van Individu en Gameenshap in het Adatrecht” pada 31 Maret 1941. Soepomo menyampaikan pemikirannya jauh sebelum Indonesia merdeka dan sebelum tersusun konstitusi.



Sopomo mengawali dari kedudukan individu dan masyarakat dalam hukum barat abad ke-19. Pada saat semangat individualisme memuncak di negara-negara barat yang demokratis, dan bisa ditemukan di dalam hukum barat tradisional. Ciri pentingnya adalah kesadaran individu. Sebagai “aku” dirinya terpisah berhadapan dunia di luar “aku”. Dia adalah pusat kekuasaan dan berusaha memperbesar kekuasaannya. Sehingga dunia terdiri dari individu-individu terpisah, sendiri-sendiri, berhadap-hadapan, dan senantiasa berebut kekuasaan. Mula dan akhir segala kejadian hukum adalah individu

Soepomo mengajak kita menelanjangi mentalitas individualistis. Hukum merupakan penjelmaan sikap individualistis di barat, karena pada hakekatnya sumbernya adalah invidu-individu yang terasing, yang hubungannya hanya sambil lalu, ditetapkannya oleh kemauan merdeka. Sistem hukum demikian, individu dianggap bekerja untuk dirinya sendiri. Kalaupun hak setiap individu dibatasi, hanya seperlunya untuk menjamin terlaksananya hak semua orang secara merdeka. Individu kemudian juga menjelma dalam korporasi, sosial dan negara.

Memang kondisi demikian melahirkan kritik pada abad ke-20 di Eropah oleh Duguit Cs. Fakta yang terjadi tendensi membatasi otonomi perseorangan, guna kebaikan kolektivitas. Akan tetapi menurut Pierre De Harven yang dibenarkan Soepomo, individualisme tidak mati, akan tetapi menjelmakan diri dalam korporasi-korporasi yang lama kelamaan menjadi kekuatan yang besar. Oleh karena itu, kata Soepomo soalnya bukan mendamaikan kepentingan individu dengan masyarakat, akan tetapi menempatkan pribadi dalam masyarakat dan masyarakat dalam pribadi ditempat sebenarnya.

Dalam hukum adat sebaliknya. Individu anggota masyarakat. Yang primer bukan individu, akan tetapi masyarakat. Masyarakat berdiri di tengah kehidupan hukum. Kehidupan individu terutama ditujukan mengabdi kepada masyarakat. Namun, pengabdian tersebut tidak dianggap beban individu dan sebuah pengorbanan. Kewajiban masyarakat dianggap hal yang wajar dari kehidupan manusia. Disamping kewajiban, individu juga memiliki hak-hak. Namun, hak-hak ini sesuai cara berpikir Indonesia, yaitu hak-hak kemasyarakatan. Hak-hak yang diberikan kepada individu berhubungan tugasnya dalam masyarakat.

Sifat Komunal Hukum Adat
Soepomo menunjuk sifat komunal dalam kehidupan hukum kita. Sifat itu berbeda-beda di daerah dan golongan, bisa kuat dan tidak. Proses pembangkitan individu terjadi di lingkungan yang berhubungan lalu lintas modern, akan tetapi individu masih mempunyai kesadaran golongan. Susunan hukum adat menurut Soepomo bermula pada individu yang terikat dengan masyarakatnya. Merdeka tanpa melanggar batas-batas hukum yang ditetapkan baginya, tidak berlaku bagi hukum adat. Individu tidak mempunyai hak-hak abstrak, namun kekuasaan hukum sebagai anggota persekutuan teritorial, genealogis, dan atau persekutuan lain.

Buku ini cukup padat mengungkap kekuasaan hukum di beberapa daerah di nusantara. Gotong royong bagi Soepomo masih penting dan belum hilang sama sekali, meski rasa sosial melemah. Pengadilan hukum adat mendasarkan pada perkara harus diselesaikan dengan sebaik-baiknya dan agar kembali kepada perdamaian persekutuan. Karena itu, berlaku hakim aktif dalam proses, ia berhak menarik pihak dalam perkara, berhak mengusut sebaik-baiknya kebenaran, berhak mendengar setiap orang, berhak memutus mengakhiri perkara dan lain sebagainya. Hal ini bertentangan dengan hukum sipil Belanda yang bermental individualistis, seperti hakim bersifat pasif dan hakim di larang memutus melebihi permohonan (ultra petita).

Buku tipis ini menarik, karena Soepomo ahlinya hukum adat sekaligus arsitek UUD Proklamasi. Cita negara integralistik yang ditawarkan terkait dengan individualisme barat yang ditolaknya seperti disampaikan dalam sidang BPUPKI. Jika individualisme mulai ditinggalkan dan kolektivitas diberi ruang seluas-luasnya di barat, maka Indonesia berlaku sebaliknya ***

(Dimuat di Majalah Konstitusi BMK, No.28 April 2009)

Selengkapnya.....

MK dan Keadilan Substantif

Oleh Miftakhul Huda*

Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan sela memerintahkan penghitungan suara ulang pemilu anggota DPR dan DPRD di seluruh Kabupaten Nias Selatan yang diajukan enam partai politik dan memerintahkan penghitungan suara ulang pemilu anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di enam kecamatan kabupaten tersebut, Selasa (9/6). Di hari yang sama dalam perkara yang diajukan Elion Numberi dan Hasbi Suaib, keduanya calon anggota DPD dapil Papua, MK memerintahkan pemungutan suara ulang di 37 distrik, sedang penghitungan suara ulang di 14 distrik di Kabupaten Yahukimo, Provinsi Papua.

Pemungutan suara dan penghitungan suara ulang ini diambil dalam sidang pleno sebelum putusan akhir dijatuhkan. Dalam inti pertimbangan yang diberikan MK pada dasarnya memiliki kemiripan antara satu dengan yang lain meskipun para pihak yang bersengketa (subjectum litis) berbeda. Namun, pada dasarnya kondisi yang diadili atau objek yang diperkarakan sama berkenaan dengan perolehan suara di daerah pemilihan di Nias Selatan dan Yahukimo.



Inti pertimbangan MK sebagai berikut: Pertama, proses pemilu berlangsung tidak demokratis. Pada kasus Nias Selatan ditemukan adanya 21 kotak suara yang belum terbawa ke Medan dan belum di hitung, serta 21 kotak suara tersebut masih berada di KPU Kabupaten Nias Selatan. Sedangkan di Yahukimo, untuk 37 distrik tidak terselenggara pencontrengan sebagaimana sesuai peraturan yang berlaku, yakni hanya melalui kesepakatan atau ”aklamasi”.

Kedua, Mahkamah dalam kasusYahukimo tetap menghargai budaya masyarakat untuk melakukan pemilihan dengan cara pemilihan kolektif (“kesepakatan warga” atau “aklamasi”) telah diterima masyarakat. Sedangkan Nias Selatan dari fakta hukum yang dirumuskan banyak karena pelanggaran oleh aparat pemilu, antara lain proses penyelenggaran pemilu secara berjenjang dari tingkat KPPS, PPK, pleno kabupaten dan pleno provinsi terjadi penggelembungan suara dan pengurangan suara dan tidak dilakukan pleno rekapitulasi baik pada tingkat KPPS maupun PPK dan seluruh surat suara langsung diangkut ke Kabupaten Nias Selatan, dan tidak diserahkannya hasil rekapitulasi kepada para saksi partai politik, dan terdapat rekapitulasi formulir C1 yang diganti oleh PPK.

Ketiga, penyelenggara pemilu melakukan pelanggaran yang terstruktur dan masif, sedangkan pada sisi lain MK tidak boleh membiarkan hal tersebut terjadi, karena dengan pembiaran maka akan melemahkan demokrasi dan akan terulang kembali.

Keempat, Mahkamah tidak dapat membelenggu dirinya untuk hanya memeriksa dan memutus segi-segi kuantitatif dengan hanya merekapitulasi kembali angka-angka perolehan suara yang telah ditetapkan secara resmi oleh KPU, melainkan juga Mahkamah dapat memerintahkan pemungutan suara ulang dan penghitungan suara ulang.

Sebuah Kemajuan
Dalam putusan ini MK mengalami kemajuan dengan memutus bukan melalui putusan akhir, akan tetapi ke dalam putusan sela dimana sebelumnya MK mempersiapkannya dengan pembaruan Peraturan Mahkamah Konstitusi. Jika dibandingkan dengan empat putusan pemilukada yang mengabulkan yang lalu pada 2008 dan 2009 diputus dalam putusan akhir padahal putusan MK final dan mengikat (final and binding). Konsekuensinya berbeda, untuk putusan sela, MK berwenang mengawasi pelaksanaan putusan yang dijatuhkan untuk ditaati oleh penyelenggara pemilu dan masih ada kewajiban KPU/KPU Provinsi/Kabupaten/Kota untuk mempertanggungjawabkan hasil pemungutan suara dan penghitungan ulang atas perintah lembaga peradilan ini.

MK banyak belajar dari kasus pemilukada Jawa Timur dimana pasca putusan MK yang final disengketakan kembali karena disinyalir adanya kecurangan dan pelanggaran kembali pada proses pelaksanaan putusan MK oleh salah satu calon. Artinya MK tidak me”rimba”kan proses pemilu dengan pengulangan pelanggaran ulang tanpa kontrol dan mekanisme mengujinya kembali. Tidak ada ruang kosong dan legitimasi seolah-olah apapun hasil pelaksanaan putusan MK tidak ada upaya hukum apapun. Dengan intervensi MK dalam proses penyelenggaran pemilu paling tidak meminimalisir terjadinya pelanggaran pemilu ulang dan memupuk tanggung jawab masing-masing lembaga dan masyarakat bahwa suara rakyat sangat dihargai.

Keadilan Substantif
Meski ditegaskan dalam berbagai kesempatan sengketa hasil pemilu adalah terbatas pada perselisihan hasil suara, namun MK menegaskan posisinya bahwa lembaga ini akan menegakkan keadilan substantif. Dalam arti, sebagai lembaga pengawal dan penafsir konstitusi tidak boleh terpaku dengan undang-undang jika keluar dari tujuan hukum sendiri. Dalam kekuasaan mengadili, MK sekaligus menafsirkan konstitusi yang mengharuskan asas demokrasi dalam pemilu yaitu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil tidak akan tercapai dengan pembiaran pelanggaran yang terjadi.

Prinsip universal pernah dikemukakan yaitu nullus/nemo commodum capere potest de injuria sua propria (tidak boleh seorang pun boleh diuntungkan oleh penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukannya sendiri dan tidak seorang pun boleh dirugikan oleh penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain) pada kasus Jatim, dan meskipun tidak dikutip di putusan sela, maknanya dianut kembali bahwa tidak boleh ada pembiaran pelanggaran terstruktur dan masif. Dengan pilihan ini pelanggar dan orang-orang yang curang tidak justru diuntungkan kembali dan pihak yang dicurangi merasa dilindungi dan tidak kembali dirugikan dengan pelanggaran dan tanpa perlindungan.

*Praktisi Hukum, Jakarta

Selengkapnya.....

Menyoroti Ketetapan MK Soal Hasil Pemilukada Ulang

Oleh Miftakhul Huda*

Mahkamah Konstitusi (MK) menetapkan tidak meregister permohonan keberatan II yang diajukan pasangan Khofifah Indar Parawansa-Mudjiono (Kaji) tentang penetapan Komisi Pemilihan Umum Provinsi Jawa Timur (KPU Jatim) yang memenangkan pasangan Soekarwo-Syaifullah Yusuf (Karsa) dengan selisih 34.104 suara. Penghitungan suara ulang di Pamekasan dan pencoblosan ulang di Bangkalan dan Sampang dilakukan atas perintah MK, dikarenakan terbukti di persidangan sebelumnya Karsa telah melakukan pelanggaran sistematis, terstuktur dan masif (putusan MK No.41/PHPU.D-VI/2008).

Argumen MK menetapkan demikian, yaitu: Pertama, putusan MK yang memerintahkan penghitungan suara dan pencoblosan ulang merupakan putusan final dan mengikat dan Termohon telah melaksanakannya yang dituangkan dalam SK KPU Jatim No.01 Tahun 2009 tentang Penetapan Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Provinsi Jawa Timur Tahun 2009 dan SK KPU Jatim No.02 Tahun 2009 tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Provinsi Jawa Timur. Kedua, persoalan-persoalan hukum yang muncul dalam permohonan berdasarkan penilaian awal (prima facie) merupakan pelanggaran administratif dan pidana di luar kewenangan MK. Ketiga, SK KPU Jatim No. 01 Tahun 2009 merupakan bagian proses pemilukada Jatim putaran II, sehingga permohonan Kaji bukan permohonan baru.




Final dan Mengikat?
Yang terlewatkan dalam mempertimbangkan kewenangan menyelesaikan sengketa hasil pemilukada merupakan kewenangan asli (original power) yang diberikan konstitusi, sehingga putusan MK final dan mengikat (final and binding). Peradilan konstitusi ini telah mundur ke belakang dengan memahami putusan final secara keliru. Dengan menyatakan pemilukada sebagai bagian dari kewenangan memutus hasil pemilu, MK hanya tunduk kepada konstitusi dan tidak terpenjara oleh UU. Konstuksi hukum sebelum ditangani MK jika digunakan, maka putusan sengketa pemilukada berdasarkan putusan MK masih bisa disengketakan dalam lembaga peninjauan kembali seperti pada kasus Depok yang memenangkan Nurmahmudi Ismail.

Konsekuensi selanjutnya, jika anggapan kewenangan lahir dari UU, legislator setiap saat dapat menarik kewenangan tersebut. Kewenangan praktis operasional memang digunakan pasca ditetapkan UU No.12 Tahun 2008, namun secara atributif lahir dengan ditetapkannya kekuasaan MK dalam Perubahan Ketiga UUD 1945. Kewenangan menyelasaikan sengketa pemilukada ditegaskan berdasarkan penafsiran MK dalam constitutional review tentang pemilukada termasuk rezim pemilihan umum, sehingga kewenangan dialihkan dari Mahkamah Agung kepada MK.

Final dan mengikat semestinya dipahami tidak termasuk hasil rekapitulasi tiga kabupaten di Madura yaitu Pamekasan, Bangkalan dan Sampang. MK sesuai putusannya sendiri pada 2 Desember 2008, yang menyatakan batal dan tidak mengikat SK KPU Jatim tentang rekapitulasi penghitungan suara pemilukada putaran II, sepanjang rekapitulasi penghitungan suara di Kabupaten Bangkalan, Kabupaten Sampang dan Kabupaten Pamekasan. Itu artinya, pilkada putaran II di tiga kabupaten tersebut dianggap tidak terjadi, dan menunggu hasil dilaksanakan pemungutan suara dan pencoblosan ulang jika tidak terdapat keberatan kembali mengenai keabsahannya. Keberatan atas pelaksanaan penghitungan suara ulang merupakan permohonan baru, sebagaimana keberatan pidana dan administratif dapat dipersoalkan kembali berdasarkan fakta terbaru di sekitar perintah MK.

Pelaksanaan coblos ulang sesuai putusan MK merupakan fase baru yang berbeda dengan fase sebelumnya. Keberatan ke MK hanya diperkenankan terbatas tiga kabupaten tersebut. Itupun terbatas dugaan terjadinya sengketa mengenai hasil pemilukada yang berpengaruh terhadap terpilihnya calon. Pihak yang mengajukan keberatan juga tidak diperkenankan mengajukan persoalan hukum yang telah dipertimbangkan MK sebelumnya atau pelanggaran yang menjadi ranah pidana atau administratif. Akan tetapi, MK telah mengajarkan kita dalam menafsirkan putusan final, apapun yang terjadi pasca putusan MK, meski berpengaruh terhadap hasil pemilukada bukan lagi merupakan kewenangannya.

Selain itu, meski MK dengan Ketetapan tidak meregistrasi tidak menutup pintu penyelesaian menyangkut pidana oleh penegak hukum dan penyelesaian administratif, putusan ini tidak berarti apa-apa bagi keadilan substantif yang di pegang MK pada putusan sebelumnya dengan meninggalkan keadilan prosedural. Dengan ketetapan bahwa putusan MK sudah final dan mengikat termasuk tiga kabupaten tersebut, pelanggaran-pelanggaran apapun yang terbukti di persidangan nantinya meski termasuk mempengaruhi terpilihnya pasangan calon sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak akan merubah putusan MK. Itu sangat bertentangan dengan logika hukum, seperti pada kasus sengketa pemilu 2004, putusan MK telah final dan mengikat, akan tetapi disisi lain, bukti yang digunakan di MK terbukti di peradilan pidana merupakan palsu.

Kemunduran MK
Ketetapan MK soal keberatan Kaji mengenai hasil pemungutan suara pada 21 Januari 2009 dan pencoblosan ulang pada 28 Desember 2008 merupakan kemunduran dan akan menimbulkan preseden buruk. Selain putusan pemilukada Jatim, terdapat tiga perkara yang memerintahkan pemungutan suara ulang yaitu di Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Timur Tengah Selatan, dan Bengkulu Selatan. Jika MK nanti bersikap konsisten, maka keberatan apapun berkenaan dengan pelaksanaan pencoblosan ulang tidak dapat diselesaikan di MK.

Padahal secara kasat mata, akan terdapat standar berbeda dalam menilai sengketa yang sama. Kondisi yang sama pada saat yang berbeda tidak dapat diadili di MK. Hal ini akan menimbulkan ketidakadilan tersendiri bagi pasangan calon yang dirugikan. Memang, harus diakui, perintah pencoblosan ulang menimbulkan kejenuhan pada pemilih dan membengkaknya biaya negara, akan tetapi penting bagi tujuan mencapai keadilan substantif. MK memilih membuat putusan di luar kelaziman, dan seharusnya tidak mundur ke belakang dengan mengedepankan kepastian hukum dan mengabaikan integritas pemilukada.

Seharusnya MK hanya mempertimbangkan menggunakan dasar konstitusionalitas dan tidak terbawa arus oleh opini publik atau faktor di luar kebenaran hukum itu sendiri. Putusan ini menghindari menumpuknya perkara, karena satu perkara bisa diajukan lebih dari satu kali jika memerintahkan pencoblosan ulang. Pintu keadilan bagi calon tertutup ketika menggangap adanya sengketa hasil penghitungan suara yang ditetapkan KPU Provinsi, Kabupaten atau Kota. MK sebagai peradilan mestinya tidak jauh masuk sebagai lembaga pertimbangan, penasehat atau fatwa yang sebenarnya di luar ranah MK. Wallahu A’lam

* Praktisi Hukum, Surabaya

Selengkapnya.....

Perubahan UUD 1945 dan Urgensi Pengundangannya

Oleh MIFTAKHUL HUDA*

Mas Subagio dalam bukunya “Lembaran Negara Republik Indonesia Sebagai Tempat Pengundangan Dalam Kenyataan”(1983) mengartikan “pengundangan” sebagai penempatan suatu peraturan perundangan negara yang tertentu di dalam suatu lembaran resmi sebagaimana diatur dalam suatu peraturan perundangan dan mengedarkannya kepada umum untuk diketahui.

Pengertian diatas berbeda sekali dengan arti yuridis UU No.10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang menyatakan: “Pengundangan adalah penempatan Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, atau Berita Daerah” (Pasal 1 angka 11)

Dalam arti yuridis, pengundangan tidak termasuk tindakan pengumuman resmi berlakunya peraturan atau penyebarluasan di masyarakat. Pengundangan sendiri merupakan syarat mutlaq berlaku mengikatnya sebuah aturan, sehingga berlakulah fictie dalam hukum setiap orang dianggap mengetahui. Apakah pengundangan termasuk jenis UUD agar memiliki kekuatan mengikat?


Sejarah Pengundangan UUD
Pengundangan (pengumuman) sejak kemerdekaan mendapatkan prioritas pengaturannya. Akan tetapi, prakteknya jenis peraturan yang diundangkan sering kali terjadi penyimpangan, termasuk munculnya peraturan “liar” inkonstitusional. Begitu juga cara dan tempat pengundangan peraturan berubah-ubah sesuai kondisinya saat itu, tercatat dilakukan di Papan Pengumuman gedung Komite Nasional Pusat (KNIP) dan Kementerian Kehakiman di Solo, BRI Tahun 1945-1947, Berita Negara Republik Indonesia (1947), Radio dan Harian (1949) dan dalam Lembaran Negara (LN) dengan UU Darurat No.2 Tahun 1950 dan diberlakukan kembali dengan UU No.2 Tahun 1950 yang dikenal sampai saat ini LN sebagai tempat resmi.

Undang-Undang Dasar (UUD) yang pernah berlaku diundangkan dalam tempat resmi, yaitu:

Pertama, UUD 1945 periode pertama (18 Agustus 1945 s/d 27 Desember 1949) bersama dengan penjelasan resmi dimuat dalam Berita Republik Indonesia (BRI) Tahun II (Tahun 1946) No.7.
Kedua, UUD RIS 1949 dengan Keppres No.48 Tahun 1950 Tentang Mengumumkan Piagam Penandatanganan Konstitusi Republik Indonesia Serikat dan Konstitusi Republik Indoneia Serikat dimuat dalam LN Tahun 1950 No.3.
Ketiga, UUDS 1950 dengan UU Federal No.7 Tahun 1950 dimuat dalam LN RIS Tahun 1950 No.56 dan Penjelasan Tambahan LN RIS No.37.
Keempat, UUD 1945 periode kedua (5 Juli 1959 s/d amandemen) dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 berdasarkan Keppres No.150 Tahun 1959 dimuat dalam LN Tahun 1959 No.75 meliputi Pembukaan, Batang Tubuh dan Penjelasannya bersama-sama dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959

Secara yuridis, pengundangan UUD dalam tempat resmi tidak diatur. Ketentuan yang ada hanya mewajibkan jenis peraturan yaitu: Undang-Undang (UU) atau UU Federal (RIS), UU Darurat atau Perpu dan Peraturan Pemerintah (PP) atau Peraturan Presiden. BRI yang memuat naskah UUD 1945 periode pertama sebenarnya hanya koran pemerintah biasa. Sedangkan UUD RIS 1949, UUD S 1950 dan UUD 1945 periode kedua diundangkan terlebih karena sebab “baju hukum” materi UUD menggunakan UU Federal dan Keppres yang harus diundangkan. UUD RIS 1949 dan UUD S 1950 sendiri dalam “bagian penutup” memerintahkan pengundangannya.


Urgensi Pengundangan

Dengan belum diundangkan hasil amandemen dalam tempat resmi, hal demikian tentu nanti bermasalah, karena Jawa Pos (26/0107) memberitakan pemerintah hanya melakukan penomoran masing-masing No.11-14 Tahun 2006 dalam LN tanggal 13 Pebruari 2006. Problem lain pasca amandemen, Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) juga menerbitkan naskah konsolidasi yang bersifat resmi (tidak resmi?) dan banyak bermunculan penerbitan dengan tujuan memudahkan memahami UUD dalam satu naskah. Padahal, perbedaan titik koma, huruf besar atau kecil dalam hukum, menimbulkan pengertian berbeda dan kontroversi ketatanegaraan selama ini karena perbedaan penafsiran norma konstitusi.


Apakah hasil amandemen tanpa pengundangan sah dan memiliki kekuatan mengikat? Tentu jawaban sah tidaknya peraturan harus dibedakan dengan kekuatan berlaku mengikatnya. Amandemen UUD 1945 jelas sah sebagai hukum dasar tertulis sejak ditetapkan, sesuai doktrin dalam ilmu hukum suatu norma hukum mulai berlaku sejak ditetapkan, kecuali jika ditentukan lain oleh norma hukum itu sendiri. Sahnya amandemen UUD ditentukan prosedurnya apakah sesuai Pasal 37 UUD 1945.

Hukum positif yang mengatur pengundangan yakni UU No.2 Tahun 1950 tidak mewajibkan pengundangan UUD. Begitu juga setelah diberlakukan UU No.10 Tahun 2004 yang diundangkan tanggal 22 Juni 2004 hanya menentukan pengundangan dalam LN sebagai berikut: 1) UU/ Perpu; 2) PP mengenai Pengesahan perjanjian antara negara RI dan negara lain atau badan Internasional dan pernyataan keadaan bahaya; 3) dan peraturan perundang-undangan lain yang menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku harus diundangkan dalam LNRI.

Apakah UU dibenarkan mengatur syarat berlakunya sebuah UUD? Pertanyaan rumit ini mungkin sebab ketidakberanian UU No.10 Tahun 2004 mengatur kewajiban pengundangan sebuah UUD. Penempatan UUD dalam tempat resmi disisi lain dianggap kebutuhan kepastian hukum sehingga Pasal 3 (2) UU No.10 Tahun 2004 meminta UUD 1945 ditempatkan dalam LN. Ketentuan ini mengakomodasi agar peraturan diketahui masyarakat luas, akan tetapi pasal lain tegas menyebut UUD 1945 tidak diundangkan sebagaimana peraturan perundang-undangan lain.

UUD memiliki kedudukan penting dan wajib diketahui oleh masyarakat seluas-luasnya. Pengundangan tidak hanya untuk tertib hukum, tidak kalah pentingnya menghindari perdebatan tidak perlu jika ditegaskan teks resmi sebagai jaminan kesatuan sistem rujukan dengan satu naskah baku (the sole reference). Publikasi, penyebaran informasi dan sosialisasi luas yang dilakukan MPR selama ini tidak ada artinya jika soal pengundangan belum dilakukan sebagai sarana setiap orang mengetahuinya.


Jalan Keluar

Jalan keluar dari pasal UU yang saling menegasikan mestinya dikembalikan pada asas perundang-undangan bahwa undang-undang dapat dicabut instansi yang membentuknya atau instansi yang lebih tinggi. Sehingga, solusi yang tepat yaitu materi UUD seharusnya memerintahkan pengundangan dalam tempat resmi (LN) seperti UUD yang pernah berlaku melakukannya. Hal ini bisa dilakukan jika amandemen kelima jadi diselenggarakan dan sepakati di MPR.

Naskah asli UUD 1945 berserta hasil amandemen yang resmi dan sah sebagai kesepakatan politik tertinggi yang telah dilakukan (1999-2002) sudah saatnya di ketahui seluruh masyarakat Indonesia. Pengundangan adalah soal teknis hukum yang berakibat fatal jika tidak dilaksanakan. Pengundangan dalam LN tidak meruntuhkan wibawa UUD 1945 sebagai hukum tertinggi. Tanpa pengundangan, MPR telah meninggalkan segi teknis yang selama ini banyak diabaikan dan menimbulkan kontroversi panjang. Lantas menunggu apa lagi? Wallahu A’lam

* Praktisi Hukum di Surabaya

(Pernah dimuat di kolom Opini, Berita Mahkamah Konstitusi, No.21, Oktober-November 2007, hal. 8-9)

Selengkapnya.....

MK dan Kecemasan Intervensi Parpol

Refly Harun

Terpilihnya Prof. Mahfud MD sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), 19 Agustus lalu, membawa harapan sekaligus kecemasan. Kecemasan, karena Mahfud notabene adalah orang parpol. Publik tahu, sebelum terpilih sebagai hakim konstitusi dan kemudian Ketua MK, Mahfud adalah anggota DPR dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Meski kepakarannya dalam bidang hukum tatanegara tidak perlu diragukan lagi, "bau-bau" parpol tersebut tentu tidak mudah untuk dihilangkan.

Sejak awal, ketika pemilihan hakim konstitusi pertama pada 2003, saya telah menentang masuknya orang-orang parpol ke MK. Negarawan, salah satu syarat untuk menjadi hakim konstitusi, harus mereka yang beyond dari political interest. Orang politik tidak mungkin demikian karena kepentingan politik adalah menu sehari-hari. Merenggut kepentingan politik seorang politisi ibarat mengamputasi kaki seorang sprinter atau menghilangkan pita sura seorang penyanyi.
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) karya para politisi di Senayan secara cerdas membedakan syarat hakim konstitusi dan syarat untuk dapat diangkat menjadi hakim konstitusi. Ketika ingin menjadi hakim konstitusi, seorang politisi bisa saja bertarung di medan pemilihan Presiden, DPR, atau bahkan MA, asal setelah terpilih dan akan dilantik menjadi hakim konstitusi, yang bersangkutan mengundurkann diri dari parpol. Mahfud dan Akil Mukhtar telah memanfaatkan celah ini untuk maju pada medan pertarungan DPR. Mereka menang.

Terlepas pada reputasi Mahfud, saya menilai praktik seperti ini tidak seharusnya dipertahankan. Harus ada jedah yang signifikan bagi seorang politisi bila ingin menjadi negarawan. Hari-hari terakhir ini kita melihat betapa posisi-posisi publik memberikan karpet merah kepada para politisi. Politisi diperbolehkan merambah ke mana-mana, termasuk ke lembaga yang seharusnya steril dari politisi seperti hakim konstitusi.

Sharing Power
MK pada periode kepemimpinan Jimly Asshiddiqie harus diakui banyak mencetak prestasi dan mengundang apresiasi, tetapi bukan berarti tanpa kekurangan. Hadirnya Mahfud dalam tampuk kepemimpinan MK diharapkan mempertahankan prestasi yang telah diraih dan menambal kekurangan yang ada. Independensi sembilan hakim konstitusi dalam memutuskan perkara dan belum terciumnya bau mafia peradilan adalah dua prestasi yang patut dipertahankan.
Independensi hakim dalam memutuskan perkara dan bebasnya sebuah institusi peradilan dari judicial corruption adalah ruh. Tanpa itu, lembaga pengadilan bukanlah lembaga pengadilan, tempat bagi pencari keadilan (justice seeker) untuk mencari keadilan. Mahfud tidak boleh bermain-main untuk dua hal tersebut. Isu yang beredar, naiknya Mahfud sebagai Ketua MK karena sokongan "pihak tertentu". Pihak tersebut tidak begitu bahagia dengan Jimly karena sepak terjangnya yang terlalu independen, dan belakangan sering melakukan langkah-langkah kuda bak permainan catur, terutama terkait dengan medan pertarungan Pemilu 2009. Jimly harus dihentikan dan Mahfud dianggap paling layak untuk menggantikan.

Mampukah Mahfud keluar dari politik balas budi terhadap penyokongnya itu? Inilah tantangan bagi Mahfud, selain membunuh sepenuhnya ikatan batin terhadap parpol tertentu atau kolega-koleganya sesama politisi. Tantangan lain adalah membawa MK kembali pada jati diri sebagai lembaga peradilan. Pada tahun-tahun terakhir kepemimpinannya, Jimly terlalu politis. Di tangannya, MK tidak hanya menjadi lembaga pengawal konstitusi, melainkan juga telah tumbuh sebagai salah satu pusaran isu di Republik ini.

MK adalah Jimly, Jimly adalah MK. Kelembagaan MK yang sesungguhnya merupakan kelembagaan sembilan hakim konstitusi telah dipersonalisasi sedemikian rupa seolah-olah hanya menjadi lembaga sang ketua, yang melayani keinginan-keinginan ketuanya, karena sang ketua punya target-terget politik tertentu.

Mahfud harus mampu menjadi antitetis dari fenomena ini. Mukhtie Fadjar, salah seorang hakim konstitusi yang akhirnya terpilih mendampingi Mahfud sebagai Wakil Ketua MK, secara tepat menyatakan sebelum pemilihan Ketua MK, bahwa seorang hakim adalah orang yang kesepian. Tidak boleh tumbuh sebagai sorang selebriti. Intinya, hakim harus berani tidak populer, tidak banyak bicara, tetapi banyak bertindak adil melalui putusan-putusannya. Hakim dan selebriti ibarat air dan minyak, tidak bisa menyatu.

Pada saat terpilih sebagai Ketua MK pada 2003, Jimly sering menyebut sembilan hakim MK sebagai "sembilan pintu kebenaran." Bayangan saya dengan pernyataan itu, ada keinginan kuat untuk membangun sembilan institusi hakim konstitusi dalam MK seperti the Nine Salomon-nya sembilan hakim agung AS. Faktanya kemudian, institusi delapan hakim lainnya tidak terbentuk. Yang kuat hanyalah institusi Ketua MK. Padahal, jabatan Ketua MK sebenarnya sekadar koordinator, bukan penguasa tunggal seperti halnya presiden. Masalahnya, sering pimpinan lembaga di Republik ini bergerak dengan personal interest dan lembaga dibawa untuk melayani keinginan tersebut.

Tantangan Mahfud ke depan adalah sharing power dengan delapan hakim konstitusi lainnya. Mahfud harus mampu mewujudkan proyek "sembilan pintu kebenaran" yang baru sebatas ide pada periode kepemimpinan Jimly. Sumber daya manusia dan sumber daya finansial harus didistribusikan kepada para hakim konstitusi, tidak boleh dikuasai sendiri. Hakim konstitusi harus dibantu dengan supporting staff yang dapat membantu mereka dalam mewujudkan tugas-tugas konstitusional, bukan target-target politik.

Peneliti Senior Centre for Electoral Reform (Cetro), Mantan Staf Ahli MK

Sumber: : http://www.jurnalnasional.com/?med=Koran%20Harian&sec=Opini&rbrk=&id=62714&detail=Opini


Selengkapnya.....